#4 Bidadari.. [1]

[1]

Sore hari di kota Jombang memang sungguh indah. Suasana syahdu dalam keragaman alam, nuansa cahaya cinta Tuhan dalam setiap detiknya, seakan menerbangkanku melintasi ruang dan waktu. Di seberang sana, kulihat rombongan ibu-ibu penggarap sawah yang mengayuh sepeda jengki sambil tersenyum riang. Mereka tertawa lepas, bercanda, beriringan di tepi jalan menuju kampung masing-masing setelah lelah seharian bekerja di sawah garapan. Sekeliaran burung-burung ber cicit-cuit, seakan rindu pada manisnya bulir padi yang hendak menguning.

Di seberang yang lain, tampak beberapa bapak tani yang sambil bersenandung gending jawa, menaburkan pupuk dan racun hama. Meski dalam guratan wajahnya tampak begitu keras kehidupan yang ia alami, namun itu semua tak membuatnya berhenti beribadah untuk kebaikan ribuan manusia di alam raya ini. Aku tersenyum saja saat melihat bapak tani yang kekar itu berkelakar dengan burung-burung pipit itu yang hendak mencuri sebulir dua bulir padi miliknya.

Aku terus terang, begitu menikmati alam raya kota agropolitan Jawa Timur ini. Satu kota dengan kehidupan kota yang statis, namun penuh keriangan dalam nuansa kehidupan desa. Kota dengan puluhan ribu hektar sawah membentang, kota yang, mau tidak mau, kita harus berterima kasih karena mungkin saja nasi yang kita rasakan saat ini berasal dari jemari petani yang menari-nari di lahan subur ini.

Kota ini ramai dalam kesederhanaanya. Pun ketika di pasar, tidak banyak aktivitas luar biasa yang terjadi. Paling-paling jualan makanan, kebutuhan hari-hari, dan yang cukup umum di lingkungan pedesaa adalah, kios alat-alat pertanian. Beberapa di warung nasi ketika jam-jam istirahat dan makan siang. Ditemani segelas kopi dan sebungkus kretek, para pedagang kelontong, tukang bakso, beberapa penjaja jajanan desa, dan tukang becak berkumpul sambil membicarakan politik ala warung kopi. Sesekali mereka serius sambil memukul meja mengkritisi koruptor yang merajalela, tapi sesaat kemudian tertawa terbahak-bahak membahas video luna maya dan ariel yang sampai juga pembahasannya ke gang-gang dan ke telinga pedagang kaki lima.

Yah, mungkin itu hiburan mereka di tengah kesempitan hidup ini. Pantas saja makin ke desa makin banyak anaknya. Tak mampu punya televisi, hanya berekreasi dengan istri saja di kamar tidur yang menjadi hiburan minggguan kalau tidak tiga harian. Tidak bisa kita pungkiri, susah memang mensinkronkan antara keinginan pemerintah untuk menekan jumlah kelahiran penduduk tanpa meningkatkan daya hidup mereka, atau setidaknya meningkatkan taraf pendidikan sehingga mereka tidak sekedar terbenam dalam gilasan kehidupan. Pemerintah harusnya memiliki suatu terobosan penting dalam masyarakat pedesaan, berkomitmen 100% meningkatkan daya hidup dengan konsentrasi membangun dunia pertanian Indonesia. Ahh, tapi apalah kita sebagai rakyat ini. Hanya mampu berhaha-hihi dalam warung kopi seperti hari ini.

Namun meski demikian, mereka semua yang tinggal disini, tak ambil pusing dengan semuanya. Bekerja, menyambung hidup, berdoa, bersyukur, selesai. Asal anak sekolah, selesai. Bahkan berpikir tentang sekolah saja mungkin tidak. Aku bersyukur, di tengah kemewahan hidupku dulu, ibu selalu menanamkan pemikiran bahwa hidup ini amanah. Amanah yang mengharuskan kita sebagai orang-orang yang diberi rezeki berlebih, melihat ke kiri dan ke kanan, menyimak dan mendengarkan, adakah diantaranya yang membisikkan kesedihan hidup karena kemelaratan? Adakah yang berteriak karena kelaparan? Yah, sisa-sisa bisikan ibu itu masih membekas hingga kini di sudut terdalam hatiku.

Beberapa kilometer dari sini, kehidupan sudah sedikit berubah, kawan. Sudah ada jalan raya dengan truk-truk pertanian yang menguasai jalanan. Beberapa pickup hilir mudik mengangkut hasil bumi dan pupuk. Segelintir sepeda motor tanpa plat nomor yang berkeliaran entah dengan tujuannya masing-masing. Ketika malam tiba, jalan berubah seakan hutan rimba. Hanya diterangi beberapa lampu jalan yang nyala-mati bergantian. Jangan berani-berani kau menyeberang, kalau tak ingin tertabrak pengendara motor liar yang beradu balap. Ya, pemuda balap liar korban tak jelasnya pendidikan dan pekerjaan.

“Amri..”, panggil sahabatku tiba-tiba. Seketika membangkitkan kesadaranku ditengah lamunan akan kota yang paradoks ini.

“Aku mau nikah..”, sambungnya yang tak kalah membuatku terkaget-kaget lagi. Aku masih bersantai dalam imajinasiku, tiba-tiba Indro mengempaskan dan membantingnya dengan guncangan gempa setara tsunami Aceh.

“Hah?? Kamu kesambet jin apa, ndro?”, tanyaku polos. Teringat kata beberapa orang di sekitar sini, bahwa di daerah belakang pesantrenku banyak rawa-rawa yang saking tak terjamahnya dengan kehidupan bagai tempat jin buang anak.

“Aku mau nikah, bukan kesambet jin, amrii..”, jawabnya tak kalah polos.

“Sebentar, duduk dulu disini. Mari kita bicara. Atau mau kita bicarakan di warung kopi Bang Maun? Disana ada kopi nasgithel yang terkenal kan. Energi para tukang becak dalam mengobarkan semangat perdebatan tentang video luna maya dengan tukang jual obat di masjid raya”, kataku sambil senyam-senyum.

“Ah, kowe iki. Yasudah.. Ayo kita ke warung kopi Bang Maun saja. Lagipula aku juga kangen sama pisang gorengnya. Selain itu disini sudah banyak nyamuk sawah juga. Cukup kita santai-santai disini sambil Ma’tsurat. Sudah beres kan bacanya?”

“Ya sudahlah. Ngga pake lama kalau itu.. Yok.”, aku menepuk paha Indro sambil menarik tangannya membantu bangkit dari leyeh-leyeh-nya.

***

[2]

Ahad pagi itu. Sesosok tubuh giat itu memacu sepeda keranjang dengan penuh semangat. Walaupun sarung membalut setengah bagian tubuhnya, tapi itu tak membuat ia melambat, melainkan memacu sepeda tua renta itu dengan pesat. Manusia semangat ini tengah mengemban satu tugas mulia dari tempat dimana ia menimba ilmu akhirat dan dunia: belanja ke pasar.

Jarak antara pasar dan pesantren tak lebih dari  3 km, tapi jarak tersebut cukup untuk membuat pemuda belia itu memburu nafas tersengal-sengal. Walau bermandikan peluh, tak mengapa, badannya cukup sehat untuk meniatkan hal itu sebagai ibadah.

Setelah memarkirkan sepeda, ia segera berkeliling pasar, membeli keperluan pesantren selama 3 hari kedepan. Beras, tahu tempe, ayam, ikan, dan jenis sayur-sayuran seperti wortel, terong, bayam, kunyit, daun salam, dan sebagainya Nampak tertera dengan jelas di daftar belanjaan yang ia bawa.

“Mbok Assalamualaikum. Ini cabenya berapaan ya?”, tanyanya singkat.

“Waalaikumsalam. Eh, Den Indro. Mana Den Yono? Itu cabenya 3000 per ons, den. Lagi naik sekarang harga cabe..”

“Wuih, mahal banget mbok? Ndhak salah? Minggu lalu kan masih 1000-an harganya? Mas Yono lagi ditimbali Pak Kyai, mbok..”

“Iya, den, ndhak tau kulakannya juga sudah mahal sekarang. Bikin seret pedagang kecil aja, naik turun ndhak karuan..”

“Yasudah mbok. Saya beli 2 kg dulu aja. Ndhak banyak juga kok yang doyan cabe. Takut murus-murus, kamar mandinya ngantri nanti. Hehehe..”

Tiba-tiba, pandangan matanya tertambat pada sosok anggun berjubah merah maroon, kepalanya berbalut jilbab berwarna senada, tengah berjalan bak melayang di atas bumi. Menggetarkan sudut jiwa lelaki yang sedang menatap dari sudut matanya lekat-lekat. Tak kurang dari 3 meter ia berjarak dari sosok bidadari yang terlihat dari samping, yang tiba-tiba berhenti dan berbincang dengan pedagang ayam di seberang sana.

Indro terpaku bak terkena hipnotis. Pikirannya melayang, sepertinya lagu Sway Michael Buble sedang melantun di pikirannya.

Like a flower bending in the breeze

Bend with me, sway with ease

When we dance you have a way with me

Stay with me, sway with me

Angannya melambung. Cahaya matahari yang menerpa bidadari surga itu begitu memesona, sehingga Indro mungkin lupa, bahwa ia sedang di pasar. Dikiranya ia sedang menginjak permadani surga. Tak pernah sebelumnya ia melihat makhluk ciptaan Tuhan yang begitu sempurnanya. Senyumnya, caranya berbicara, kesantunannya, wajahnya yang lembut dan bercahaya, Ahh..

“Hey.. Den Indro, ngliatin apa toh?”

Indro sontak kembali ke dunia nyatanya. Pasar Krempyeng.

“Mbok-mbok… Sini mbok.. Itu yang disana siapa mbok? Sering kesini ya?”, tanyaku setengah berbisik kepada si mbok pedagang cabe.

“Oohh.. Ngliatin itu tho.. Itu sering disini, den. Kalau datang suka pagi-pagi.. Giat orangnya..”

“Iya, siapa mbok namanya?”

“Pak Mahmud, pedagang beras baru dari desa sebelah.”

“Halahh Mbok, bukan ituuu… Yang itu lho, yang pake jilbab merah..”

“Ealah.. Itu sopo yo.. Akhir-akhir ini memang sering belanja disini, kok. Sepertinya anaknya Pak Tarman, lurah sini, yang baru pulang dari kota. Mungkin liburan. Soalnya kalau menurut kabar, anak Pak Tarman memang kuliah di kota. Sini tak panggilkan.. Nak.. Nak.. sini sebentar..!!”

“He, mbok, mbok, haduh, jangan dipanggil…!! Waduh…”

Santri bertubuh gempal itu berlari kabur.

“Lhoo, Den Indroo, cabenya belum dibayar..!!!”

***

[3]

“Bu, Putri pamit dulu mau ke pasar..”

“Oiya, hati-hati, ndhuk.. Mau ditemani sama adik ta?”

“Ndhak usah, ngga apa-apa, bu. Kasihan adik kecapean masih tidur. Mumpung Putri disini, kan hitung-hitung bantu ibu di rumah. Birrul Walidayn..”, Jawab Putri sambil tersenyum.

Ibunya hanya bisa membalas dengan senyuman pula, tentunya selain doa keselamatan bagi anak perempuan satu-satunya itu.

Bu Tarman patut berbahagia. Sang anak yang kini beranjak dewasa itu tengah bersekolah di kota tetangga, SMU terbaik kota Surabaya. Baru saja sekolah tempat Putri belajar meraih nilai tertinggi untuk beberapa mata pelajaran di tingkat regional Jawa Timur. Putri juga rajin menjadi juara kelas sejak kelas 1 hingga saat ini. Hanya saja yang masih menjadi tanda tanya besar bagi beberapa guru di sekolah tersebut, Putri meyakinkan diri untuk masuk ke pilihan jurusan sosial. Mestinya jika merujuk pada nilai-nilainya, nilai IPA Putri memenuhi standar kualifikasi siswa IPA. “Masuk IPA atau IPS bukanlah satu yang lebih baik dari yang lain, melainkan berdasarkan pada apa yang ingin kamu tuju di akhir nanti.. Saya ingin masuk FE-UI di Jakarta. Saya ingin menjadi ekonom dunia yang bisa mengentaskan Indonesia dari kemiskinan, maka dari itu, satu keputusan besar adalah saya memilih masuk di bidang sosial ini..”, jawab Putri suatu ketika, saat ditanya teman-temannya tentang pilihannya itu.

Gadis muda belia yang baru beranjak dewasa itu bersepeda menuju pasar. Sambil menikmati kampung halaman, ia menyaksikan dunia pedesaan yang membesarkan ia hingga mampu bersekolah sampai SMU. Bapaknya hanya seorang lurah, jabatan yang sangat mentereng di desa, namun mungkin tidak ada apa-apanya di kota. Tetapi baginya, bapaknya tetaplah seorang yang berjasa bagi rakyat, ketimbang mereka yang hanya bersorak sorai di dalam gedung DPR, tanpa tahu apa yang diserukan. Yang mereka pikirkan mungkin hanya duit saja.

Bapaknya sering terjun ke sawah bersama masyarakat. Meski lurah, bisa dibilang bapaknya adalah pemimpin seumur hidup, yang dipertuan agung tanah desa. Sesaat lagi sudah akan menyamai rezim orde baru. Kali ini sudah mencapai tahun ke-28 bapaknya menjabat sebagai lurah. Begitu masa jabatan habis, kehendak rakyat  tak bisa ditolak, harus Pak Tarman yang kembali terpilih. Akhirnya terpaksa satu tahun tak ada lurah. Masyarakat lebih memilih vakum 1 tahun, daripada harus ada lurah baru. Setelah itu, pemilihan digelar kembali, dan Pak Tarman kembali ke singgasananya.

Sebetulnya ada satu hal yang unik yang sampai hari ini pun Putri tak habis pikir mengapa bisa begitu. Jabatan lurah ini tidak pernah benar dari zaman ke zaman. Laiknya Presiden yang masa jabatan 2×5 tahun, tak demikian dengan para lurah di desa. Dulu saat awal-awal dilantik, bapaknya mendapat SK sebagai lurah selama delapan tahun. Tapi sekitar tahun 1999 lalu, utusan Camat dari pusat membawa kabar lain bahwa jabatan lurah diubah menjadi 2×5 tahun. Sekarang, ketika zaman tak lagi menentu, jabatan lurah pun ikut tak menentu, kembali berubah jadi enam tahun. Pernah suatu hari Putri menanyakan hal tersebut pada bapaknya, bapaknya hanya menjawab, “Jangankan kamu, ndhuk, Bapak saja ndhak ngerti, yang benar yang mana. Wong jabatan belum tuntas ada lagi SK baru, belum selesai, ada lagi yang baru. Wis pokoknya rakyat disini aman sejahtera toto tentrem kertoraharjo jer basuki mawa beyo..

Masalah gaji pun demikian. Tahukah? Lurah di desa tak sama dengan lurah di kota. Lurah di desa digaji berdasarkan tanah ganjaran saja. Jadi berapa hasil panen dari tanah ganjaran, dari situlah gaji para lurah. Tak panen karena hama? Ya, terpaksa diterima saja. Artinya empat bulan kedepan tak ada penghasilan. Beberapa lurah menyewakan tanah ganjarannya kepada petani sekitar. Tapi tak banyak. Yah, nasib lurah.

Sesampainya di pasar, Putri berkeliling, mencari beberapa bahan yang sudah disusun ibunya dalam secarik kertas.

“hmm… Bawang merah, bawang putih, belimbing wuluh, kluwek, daun sereh, ayam,………..”, putri menggumam sambil melihat sekeliling.

Ah, itu ada kios ayam potong.

Putri menghampiri kios itu. Dipilih-pilih olehnya ayam yang paling montok dan terlihat segar. Kata ibunya, jangan beli ayam yang sudah pucat dan tidak kenyal dagingnya, bisa jadi itu bukan dipotong, tapi disetrum sampai mati.

“Pak, ini ayamnya mati dipotong atau disetrum?”

“Lho, ini saya sambil motong ayam ndak lihat ta?”

“Oiya, pak. Motongnya pakai Basmalah kan Pak?”, tanyanya lagi dengan penjaga kios ayam.

“Ya dengan golok, masak dengan basmalah. Tapi jelas motongnya sambil mengucapkan bismillahirrahman nirrahim.. Cress..!!!”, jawab Pak Sholeh penjaga kios ayam.

Putri kaget melihat Pak Sholeh menjual ayam sambil memotongnya di hadapan Putri. Tapi diam-diam Putri kagum, jarang ada penjual ayam potong yang seperti itu. Biasanya kebanyakan disetrum atau mati dicekik. Mereka penjual ayam tak mau tahu, yang penting dagangan laku.

Dari kejauhan ia merasa ada yang memanggil. Putri menoleh kanan dan kiri. Ditengoknya, ternyata mbok penjual cabe. Tak ingat ia nama simbok, namun ia tahu simbok orang yang sangat ramah. Tapi yang ia heran, kenapa ada pemuda lari tunggang-langgang berlarian seperti maling. Apa si mbok kemalingan? Sesaat ia membayar ayamnya dan berlari mendekati si mbok.

“Kenapa mbok? Ada apa??”

“Oalah..  ndhak, itu  tadi ada den Indro, santri pesantren Darul Furqon kok nanya-nanya tentang, ning…. siapa namanya, ndhuk? Mbok Parmi lupa..”, jawab Mbok Parmi sambil bertanya.

“Putri, Mbok. Putri juga lupa tadi nama simbok, tapi sudah diingatkan barusan sekarang sudah ingat lagi.. “, jawab Putri ceria.

“Jadi kenapa tadi mbok? Mas yang tadi itu nanya-nanya saya? Kenapa kok nanya-nanya? Dia bukan maling kan?”

“Ooo… bukan, nak Putri. Itu santri soleh. Santri Darul Furqon, pesantren yang terkenal itu. Cuma, den Indro tadi kok langsung kabur pas simbok panggilkan nak Putri. Wong dari tadi pas beli cabe kayak kesurupan gitu, dipanggil ndak jawab-jawab, matanya liat ke nak Putri terus tadi..”

Putri tersenyum.

“Ya sudah… jadi berapa banyak cabe yang lupa dibayar sama mas yang tadi? Biar Putri yang bayar saja. Kasihan simbok nanti ga punya modal kulakan..”

“Tadi Nak Indro ngambil 2kg, jadinya 60 ribu, ndhuk. Nah tho.. Anake pak lurah iki pancen apikan tenan. Matursuwun ndhuk yoo.. Mudah-mudahan dadi wong sing solehah, bermanfaat buat umat..”, kata simbok sambil menerima pembayaran dari Putri.

***

[4]

“Pak, pesen kopi nasgithel-nya dua..”, kataku pada Bang Maun.

“Oke, mas.. “, jawab Bang Maun singkat.

By the way, Bang Maun ini sosok yang unik. Tidak ada yang menyangka kalau sekarang dia buka warung kopi dan jadi yang paling ramai di pasar ini. Dulu Bang Maun pekerjaannya adalah penyanyi dangdut. Suaranya aduhai, bagai semilir angin membelai-belai. Cengkok khas penyanyi dangdut dia sangat lihai. Apalagi kalau lagu Meggy Z yang Sakit Gigi itu dinyanyikan, bisa membuat orang yang sakit gigi betulan lupa kalau sedang sakit gigi. Karena itu, kalau biasanya penyanyi dangdut itu perempuan, nah Bang Maun berusaha membuat terobosan dengan menjadi penyanyi laki-laki pertama di desa ini. Dan yang lebih hebohnya, Bang Maun ini laiknya Don Juan, istrinya tiga, dan semuanya adalah penyanyi dangdut desa sebelah yang digaetnya. Prinsipnya adalah mengurangi saingan, dengan tanpa kekerasan. Hehehe.. Kalau sedang tampil, Bang Maun jadi Main Vocal, dan istri-istrinya menjadi penari latar. Tapi tidak pernah sepanjang karirnya ketiga istrinya jadi penyanyi utama dan Bang Maun jadi penari latarnya. Tidak, tidak pernah. Lucu saja jika membayangkan itu terjadi.

Sayang seribu sayang, orkes dangdut Bang Maun terpaksa tutup pada tahun 1998 karena kejamnya krisis moneter. Karena tak mampu menghidupi kedua istrinya, maka dengan segala sesal dan penuh umpatan kekesalan satu istri Bang Maun minta dicerai. Tinggallah Sri, satu-satunya istri Bang Maun yang masih setia,  istri pertamanya. Dan sekarang, untuk menghidupi kelima anaknya, Bang Maun membuka kios dengan dana pinjam bank saudara; saudara jauh sebelah desa.

Berkat keuletan Bang Maun, usaha warung kopi inilah yang ternyata menjadi sangat maju. Mungkin karena kalau menjadi penyanyi dangdut seperti dulu, Bang Maun banyak bermaksiat, dan sekarang setelah usaha warung kopi, menjadi lebih berkah dunia akhirat.

“Jadi gimana rencanamu itu.. Kok tiba-tiba jadi mau nikah. Iki piye tho, mentang-mentang waktu lalu Ustadz Naim menikah, sekarang kamu kok malah mau ikut-ikutan nikah..”, tanyaku pada Indro.

Indro terdiam sejenak. Diambilnya nasgithel yang baru saja diletakkan Bang Maun dihadapannya. Diseruput perlahan dengan gaya seperti yang di tivi-tivi.

“..Aku ndak betah, mri. Rasanya hidupku sepi sendiri tiada yang menemani. Hariku silih berganti tapi hatiku merana begini..”

“Halah halahhh… kowe sok puisi-puisian, Ndro… Aku, Suroso, Joko, Ustad Naim dan kawan-kawan yang lain kamu kemanakan? Kok bisa-bisanya ngomong sepi sendiri.. Ndro.. ndro.. hehe..”, jawabku sambil tertawa terkekeh-kekeh. Aku sendiri bingung, kok Indro jadi tiba-tiba sok berpuisi. Padahal setiap pelajaran Syair Shalawat dia selalu kena detensi, akibat menjadi santri yang paling pertama ngiler ketiduran. Tak jarang ia didukani Mas-Mas Kantor karena sering tidur waktu pelajaran. Eh, ini kok ndilalah jadi pujangga nyasar. Bener-bener kesambet ini, pikirku.

“Jadi begini, cak. Bulan lalu, habis tragedi mantu itu, aku jalan-jalan ke desa sebelah, tepatnya hari Ahad pagi. Rencana awalnya aku cuma bantu Mas Yono belanja, soalnya Mas Yono dipanggil Pak Kyai untuk bantu bersih-bersih kamar mandi didalam. Jadi yang belanja ndhak ada. Nah, kok tiba-tiba, mri, aku liat ada bidadari turun dari langit..!”

“Wess.. Gile lu, ndro..”, jawabku singkat dengan aksen Dono-Kasino-Indro. Aku tertawa terkekeh-kekeh melihat tingkah Indro yang seperti orang kehilangan akal sehat. Sambil santai, aku menikmati pisang goreng Bang Maun.

“Lho, tenan, cak.. Maksudnya ya bukan turun dari langit gitu.. Aku ketemu akhwat yang mempesona di Pasar..”

“Mbok Parmi?”, tanyaku sekenanya.

“Hehe.. Ya bukan tho, iki guyon terus, cak Amri. Aku seriuss..”

“Yoweis. Terus maunya yaapa?”

Sejenak aku mengambil sepotong pisang goreng lagi. Menyempatkan sedikit demi sedikit menyeruput kopi terbaik di desa ini.

“Adik-adik sekalian..”, potong Bang Maun tiba-tiba.

“Urusan cinta itu memang sering membuat kita terasa ngilu dalam hati. Jangan terlalu dibawa pilu, lah, nak. Bang Maun mengarungi cinta, keliling Indonesia hingga Papua, tak pernah risau akan cinta. Cinta itu datang dan pergi, seperti bola bumi, atas dan bawah silih berganti..”, kata Bang Maun dengan gaya puitisnya bak kesurupan arwah Hamzah Fansuri membawakan Gurindam Lama.

“Itulah, Bang Maun. Tak tahulah mengapa hati ini demikian merindu, tak terasa sakit menyerbu kalbu. Andai boleh kuulang waktu, tak mau daku berangkat hari itu. Rindu ini begitu menguras hati..”, sambut Indro. Tiba-tiba ia bersenandung lagu negeri jiran yang dibawakan dengan gemulai oleh Siti Nurhaliza:

Angin lalu nyanyi lagu rindu
Resah di kalbu kian syahdu
Air wajahmu gambaran sejuta pilu

Abadikan cinta abadikan segala
Rasa yang tercurah sesama kita
Jangan bimbang jangan sekali kau ragu

Kerana cinta cintanya
Kerana rasa imannya
Selama menyerla cinta
dalam jiwa semua

Air zamaan air mata
Kau tetap dalam ingatan
Air zamaan air mata
Jiwa dalam kerinduan

Sang bayu nyanyi lagu rindu
Abadikan segala rasa
yang tersemat di kalbu

Aku hanya bisa melongo. Takjub melihat sahabat yang biasa terlelap di atas meja belajar, kini menari-nari menyanyi bak Rama Aiphama. Seperti tarian voodoo yang penuh daya magis. Hanya saja kali ini nuansa magis tanah melayu yang muncul. Disana-sini bersahut pantun, puisi, dan syair yang entah aku tak paham. Sepertinya rasa itu lebih cenderung kepada rasa kasihan, bukan takjub. Aku makin tergelak.

“Hahahaha… Wis tho, leee… leee… Wong Jowo ae kok puisi-puisian. Ngelu sirahku…. Mestinya kamu itu bacaannya Babad Tanah Jawi. Cerita yang dibaca kisah Patih Gajah Mada. Menundukkan kekuasaan dengan perang dan perebutan tahta.. “

***

[5]

Sejak hari itu, -atau mungkin aku saja yang baru tersadar – Indro yang biasa tertidur saat pelajaran, kini sedikit meningkat. Tak ada lagi dengkuran atau iler yang menetes. Tuhan berkehendak lain atas sahabatku yang lucu itu.

Oleh karena itu, seandainya ada santri yang tunggang-langgang lari mengelilingi pesantren dikejar oleh mas Kantor sambil mengacung-acungkan penggaris kayu, santri terjatuh tersandung batu, lalu mas kantor terjerembab tersandung santri hingga terjebur masuk kolam ikan, sudah bisa dipastikan, itu bukan Indro. Bukan, dia tak tertidur di kelas.

Atau kalau seandainya ada santri sedang menjemur bukunya di atap, lalu tergelincir dari atap dan jatuh nyungsruk di kandang itik, itupun pasti bukan Indro. Indro tak bau dan basah bukunya karena iler. Indro yang sekarang sudah berubah.

Tapi mungkin saja jika kau melihat ada seorang yang terpekur di trotoar depan mall berbaju compang-camping, terlihat kurus dan lemah tanpa daya, nah, tengoklah dengan hati-hati. Bisa jadi itu Indro. Karena sejak hari itu seperti tak semangat lagi dia menjalani hidup.

Atau jika kau melihat ada seseorang yang duduk di hadapan meja belajar seakan membaca buku sampai larut malam, tapi ternyata di hanya duduk termenung sambil mendengarkan radio jangkrik yang tak jelas lafal suaranya, entah drama radio Bramakumbara atau lagu-lagu muda-mudi, bisa dipastikan itu 99% adalah Indro. Kelakuannya semakin aneh.

Aku sebagai sahabat ikut kalang kabut. Semua santri di pesantren mempertanyakan tingkah Indro yang sekarang jadi sering diam tanpa suara.

“Ndro.. Kamu masih ingin nikah?”, tanyaku di suatu malam menjelang tidur.

“Sakjane aku ya bingung, cak. Katanya ustad kan kita ndak boleh pacaran. Tapi saya juga ndak tau mesti ngapain.. Saya seumur-umur juga ndak pernah punya perasaan kayak gini.. Rasanya itu lho..”

Indro menarik nafas dan menghembuskannya panjang.

“Akhirnya yang terlintas di kepalaku ya cuma satu : menikah..”

“Kowe iki lho, ndro.. Menikah itu bukan itu motivasinya. Bukan mencari solusi atas perasaanmu. Kalau kata Ustad Naim beberapa waktu lalu, menikah itu adalah amal hati. Amal yang muncul karena satu motivasi: karena Allah yang suruh titik. Tidak ada embel-embel yang lain. Allah yang akan menuntun dirimu menuju pernikahan itu. Kesiapan hatimu, secara tidak langsung, Allah semua yang mengatur. Aku belum nikah juga ya, tapi aku nyimak Ustad. Lha kowe malah ngelindur dewe..”

“Lha terus piye, cak..”

“Wes, kowe ndak usah kepikiran lagi. Shaum. Ustad Naim dulu katanya juga banyak shaum beberapa bulan sebelum nikah, biar menjaga hati katanya. Nanti kalau belanja sekali lagi biar kita bareng-bareng. Ben ono sing njogo awakmu. Hehe..”

***

[6]

“Assalamualaikum..”

“Waalaikumsalam.. Eh, nak Indro.., monggo masuk..”

“Putri…!!!!! Ada temannya..!!”

Sejenak perempuan berbaju kurung berwarna coklat polos itu menuju ruang tamu.

Deg. Duh.

“Bapak mau ke belakang dulu ya.. Masih ada yang mau dikerjakan..”

“Eee, pak, jangan.. Masak Putri ditinggal sendirian disini??”

“Lho kan ini ada tamu temennya Putri?”

“Iya, temenin Pak… Pliss.. “

“hmm..Yasudah..”

Putri duduk menyebelahi ayahnya. Indro duduk berhadapan dengan kedua manusia yang seakan tiba-tiba membesar melintasi cakrawala. Gelombang keberanian yang tadi membara, kini menciut sebesar buah kara.

1 menir.

2 menit.

Mengeheningkan cipta.

Krik.. krik…

“Lho, ayo monggo, mau ngobrol apa?”

Sedikit demi sedikit dikerahkannya lagi seluruh keberanian yang tadi sempat menyublim.

“Emm.. ngga, Pak. Iya.. Emm… Bapak sudah lama tinggal disini?”

“Ooo.. iya, sejak Putri masih kecil.. Memang kenapa?”

Failed. Pembukaan pembicaraan yang kacau.

Hening kembali menerpa. Seakan semut-semut ikut berhenti berjalan menatap curiga pada Indro yang diam membatu. Angin semilir menari-nari membuat kaki Indro menjadi sedingin es. Tak kuat lagi ia bertahan diterjang badai nervous.

“Emm.. nggak Pak. Ngga apa-apa. cuma nanya aja, Pak. Kalau begitu, ssaya pamit dulu saja, cuma ingin silaturahim ke rumah Bapak..”

“Ooo.. ya ya… Sebentar nak, Indro. Nak Indro bekerja dimana?”

“Saya masih nyantri di Darul Furqon, pak”

“Wah, pintar berarti ya. Ngga, saya kira tadi petugas sensus. Kok silaturahim cuma nanya gitu aja..”, jawab Pak Tarman sambil tersenyum.

Digoda begitu makin meriang sekujur tubuh Indro.

.

..

“Heh, Ndro..!!! Tangi..!!”

Tiba-tiba Indro limbung. Badannya seakan tertarik-tarik. Pikirannya melayang-layang, matanya berkunang-kunang.

Astaghfirullah. Mimpi..!!

“Tangi..!! Ayo sholat bengi. Sudah ditunggu sama yang lain di masjid..”, tegas Amri.

“Iya, cak. Aku ke masjid sekarang..”

Duh, mimpi-mimpi…

***

[7]

Darul Furqon di Ahad subuh, pagi hari.

“Cak Amri, kesini sebentar..”, panggil Indro.

“Jadi kan kita ke pasar. Aku lali, kemarin ternyata belum bayar cabenya mbok Parmi..”

“Astaghfirullah.. kok iso lho.. Yoweis, nanti minta sama Mas Yono aja kalau kita yang belanja hari ini. Tak temenin..”

“Nah, itu maksudku cak. Aku njaluk dikancani.. hehe..”

Pagi itu memang pesantren super sibuk. Ada jadwal kerja bakti bersih-bersih pesantren dari depan sampai belakang. Kebetulan seluruh jadwal santri yang sekolah juga libur, jadi bisa full-member.

Oya, pesantren Darul Furqon ini sebetulnya ada dua, jarak 1 km dari sini ada Darul Furqon II khusus akhwat. Tapi rumah pak kyai ada di sini, di Darul Furqon khusus putra. Jadi meskipun nyantri disana, kadang-kadang beberapa santri perempuan yang mengurus masalah administrasi santri baru akhwat sering ke tempat pak kyai. Tidak banyak, mungkin hanya dua sampai lima orang.

“Ayo berangkat, cak..”, panggil Indro.

“Iyo, sek. Aku mau ke kamar mandi dulu..”, jawabku. Aku bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil sambil merapikan baju.

Pagi itu kami berangkat dengan menggunakan sepeda kebo. Sepeda kebo ini kalau dalam bahasa Indonesia-nya mungkin sepeda kumbang namanya. Sering dipakai di desa, namun sudah agak jarang di kota. Entah kenapa diberi nama sepeda kebo. Padahal sepengetahuanku tidak ada kebo yang pernah naik sepeda. Entah mungkin engkau pernah melihatnya, tapi aku jelas, jelas tidak pernah. Di pesantren ini ada sekitar 5 sampai 7 orang yang menggunakan sepeda kebo, salah satunya Mas Yono. Sepeda Mas Yono inilah yang sekarang kami pakai.

Akhirnya, tibalah kami di pasar krempyeng, pasar yang tidak terlalu luas, namun cukup ramai dan lengkap untuk mencukupi kebutuhan yang ada. Dulunya pasar ini didirikan atas swadaya penduduk sekitar, mengingat jauhnya dengan pasar utama di kota. Jam 3 pagi sudah cukup ramai dengan peak time jam 6-7 pagi. Setelah itu mulai agak surut hingga tutup jam 9 pagi.

Beberapa pedagang memang cukup akrab dengan santri-santri dari Darul Furqon, karena memang langganan kami untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ya disini. Ada Mbok Parmi pedagang cabe, Pak Sholeh tukang potong dan penjual ayam segar, ada Pak Atep pedagang asli Tasikmalaya yang jual barang-barang kelontong perlengkapan hari-hari seperti sapu, toples, sikat WC, dll. Seringnya kami berbelanja disini membuat akrab antara pedagang dan pondok pesantren. Kalau lagi maulud nabi, kami sering mengundang banyak pedagang disini untuk ikut acara syukuran di pesantren. Tak jarang juga beberapa pedagang disana yang sowan ke rumah Pak Kyai hanya sekedar untuk menitipkan anaknya, siapa tahu ada salah satu santri yang berjodoh, baik dengan santriwati maupun santri pria.

Setelah memarkirkan sepeda. Kami menuju kios cabe Mbok Parmi.

“Assalamualaikum, mbok..”

“Waalaikumsalam,, wee… nak Indro.. Kemarin kok langsung colong playon.. sampe lupa bayar cabenya..”

Indro meringis tak manis. Lebih ke menyeramkan tepatnya.

“Iya.. mbok.. nyuwun pangapuro, saya lupa bayar.. Ini sekarang mau bayar sekalian beli lagi, buat acara tahlilan minggu depan..”, kata Indro dengan wajah yang masih pringas-pringis.

“Nak Indro, kemarin sudah dibayar cabenya..”

“Lho, sama siapa mbok?”

“Sama nak Putri itu, ternyata memang Putri itu putrinya Pak Tarman, Lurah..”

Deg. Dada Indro mencelos.

Seketika terasa kopyah yang dipakai serasa tak muat. Dadanya tiba-tiba melebar. Angannya melambung jauh tinggi ke awang-awang. Sepersekian detik ia kembali menjadi melankolis garis keras.

“Mri.. Putri suka sama aku, cak..”

“Ojo gedhe rumongso dulu..”, potong Mbok Parmi.

“Dikiranya njenengan itu maling tadinya. Makanya dia ngampiri mbok. Takut ada yang beli gak mbayar..”, sahut mbok Parmi singkat padat berat. Mengempaskan indro yang sudah terlanjur berarung jeram di lautan awan.

Aku terikik-kikik.

“Kowe iki, ndro.. Lucu tenan. Wong cuma dibayari thok, dikira suka. Itu juga wong kowe belum kenal sama dia..”, kataku datar.

“Yoweis, mbok, nanti kita sowan saja ke tempatnya Putri. Sekarang beli lagi aja yang ini. Yang lombok ijo, mbok, 2 kg, sama cabe rawit 2 kg juga..”, sambungku.

Ternyata simbok sudah dibayar sama Putri. Diam-diam dalam hati aku kagum juga dengan orang yang disukai oleh Indro. Tak banyak orang yang mau meluangkan perhatian untuk membantu sesamanya, bahkan khususnya di dalam perniagaan seperti ini.

“Fiuhh… tenang, mri, aku sudah bisa menguasai diri sekarang..”, kata Indro setelah berjuang dengan perasaannya sendiri untuk mulai menghilangkan bayang-bayang bidadari nan bermata jeli itu.

“Baguslah… habis ini kita cari rumah pak lurah. Ndak baik punya ganjelan sama orang tidak diupayakan untuk diselesaikan. Kalau bisa hari ini, hari ini sekalian kita tuntaskan, oke?”

“Waduhh, cak. Aku isin.. piye yo?”

“Ojo isin-isinan tha. Wis gak opo-opo..”

“Nanti sampeyan ikut seneng sama Putri. Ojo lho, cak..”

“Lho, nek memang jodohku piye, ndro?”, godaku.

“Wis mulih ae yo.. Nggolek goro-goro, cak Amri iki..”, Indro menjawab dengan mbesengut.

Lagi-lagi aku tertawa. Dasar Indro. Masih kekanak-kanakan begini minta nikah. Indro… Indro..

Akhirnya, setelah berbelanja dengan barang bawaan yang sangat banyak, kami bersiap untuk pergi ke tempat pak lurah. Menurut informasi pedagang sekitar, rumah Pak Lurah kira-kira 1 km dari pasar. “Nanti disana tanya-tanya lagi saja.. Tapi hati-hati, banyak kendaraan besar yang lewat. Maklum, rumah pak lurah pinggir jalan.. Oya, ada plang namanya kok disana..”, kata satu tukang becak yang ada disana.

“Ndro, kayaknya susah kita jalan ke rumah pak lurah dengan belanjaan sebanyak ini..”

“Iya, cak. Yaopo yo?”

“Mending gini aja, salah satu dari kita saja yang ke pak lurah. Aku atau sampeyan. Nanti yang lain pulang pakai becak. Ndak mungkin kayaknya juga dengan segini banyaknya belanjaan kita naik sepeda onthel..”

“Hmm.. Aku pengen melu, cak Amri. Tapi aku ndhak mau sendirian. Nanti kenapa-kenapa..”

Indro masih terbayang-bayang mimpinya kemarin.

“Hehehe… yoweis aku aja yang kesana. Sampeyan pulang. Begitu menyerahkan uang, aku langsung mbalik. Pulang. Piye, sepakat?”, kataku menawarkan solusi.

“Lhhaaa, nanti sampeyan yang kenapa-kenapa..”

“Hahaha… wis wis, ndhaak. Percoyo sama aku.. Aku Cuma satu aja yang ngganjel, ini pesantren ada tanggungan ke orang lain. Apa kata orang-orang nanti kalau pesantren ndhak amanah.. Oke?”

Indro tampak terdiam.

“Yoweis, cak. Ndak apa-apa. Wong dia juga bukan siapa-siapa tho.. hehehe..”

“Nah, ngono lho. Santai ae..”

Akhirnya kami berpencar. Indro pulang langsung ke pesantren, aku membayar tanggungan hutang ke pak lurah.

Jalan disini, seperti yang sudah pernah aku ceritakan padamu, kawan, ramai luar biasa. Truk-truk pengangkut hasil bumi, pickup, sepeda motor berlalu lalang, sangat ramai. Jalur ini sebenarnya adalah jalur antar kota. Hanya saja, antara jam 4 sampai jam 6, jam-jam transisi, disini sedikit lengang. Oleh karena itulah kadang banyak penduduk sekitar yang ke pasar dengan jalan kaki atau naik sepeda onthel. Tapi jangan harap kalau sudah masuk jam 10 ke atas. Luar biasa ramai. Jalur sangat cepat, mobil berlalu secepat kilat. Badanku saja sering oleng terhembus angin dari bus-bus antar kota dalam propinsi yang berlalu bak banteng gila.

Alhamdulillah. Itu ada plang tanda rumah pak lurah.Sudah sampai.. pikirku.

Aku menyeberang dengan hati-hati. Sampailah di depan pintu rumah pak lurah.

“tok..tok.. Assalamualaikum…”, aku mengetuk seraya mengucap salam.

Tak lama..

“Waalaikumsalam..”

Terdengar jawaban seorang perempuan. Ah, nampaknya bu lurah.

“Ada apa ya? Dari mana? Silakan masuk dulu..”, kata bu lurah. Aku agak bingung juga, baru kenal kok sudah dipersilakan masuk. Mungkin melihat performance-ku yang menggunakan pakaian ala pesantren, bu lurah percaya. Lagi pula, biasanya juga rumah pak lurah ini disambangi warganya, kan.

“Oh, ndak bu, ndak apa-apa di luar saja. Ini saya mau menyerahkan amanah dari pesantren saja. Beberapa waktu lalu salah seorang santri kami belanja di pasar, tapi lupa membayar. Alhamdulillah, ternyata sudah dibayar dulu oleh anak ibu, mbak Putri. Jadi sekarang saya disuruh pesantren untuk mengganti biaya yang sudah dikeluarkan. Sebelumnya Jazakumullah khairul Jazaa..”

“Masya Allah. Alhamdulillah. Tapi Putri sedang keluar, nak. Ya sudah dititipkan ibu saja, insya Allah nanti disampaikan..”

“Oiya, bu, tidak apa-apa. Ini uangnya..”, aku menyerahkan amplop berisi nominal uang sesuai dengan jumlah yang dikeluarkan oleh Putri.

“Kalau begitu, saya pamit dulu, bu. Alhamdulillah amanah sudah tertunaikan..”

“Oiya nak, terima kasih. Ngomong-ngomong, siapa namanya?”

“Amri, bu. Amri Sabiq.”

“Baik, nak Amri. Hati-hati di jalan ya..”

“Insya Allah, bu. Assalamualaikum..”

“Waalaikumsalam..”

Alhamdulillah, tunai sudah kewajiban pesantren kami. Dan sekarang aku harus kembali ke pesantren.

Aku kembali menyusuri jalan menuju pesantren. Nampaknya hari mulai siang. Jalanan mulai ramai lalu lintas mobil dan kuda besi.

Dalam situasi seperti ini sudah semestinya kau melafalkan doa perjalanan dengan lebih khusyu’. Bisa jadi mungkin jika ajalmu tiba karena terserempet becak lalu tersungkur dalam parit sawah dan kau menemui ajalmu, setidaknya kau sudah melafal doa. Atau mungkin saja jika ada pengendara sepeda motor yang mabuk karena tadi malam kalah judi jangkrik, menabrakmu hingga terpental dank au tiada, kau sudah berdoa. Jangan sampai lupa berdoa, kawan. Baik kau di darat, di laut, atau bahkan di udara.

Sesaat kemudian..

Aku ternganga. Persis di depan mataku bayangan-bayangan barusan tentang manusia malang yang terserempet sepeda motor hingga kemudian jatuh tersungkur menjadi nyata. Astaghfirullah. Untung tak sampai menyungkur ke dalam sawah. Tapi tampaknya lebih parah dari itu. Kepalanya Nampak terantuk batu di pinggir jalan hingga membuatnya tak sadar diri. Aku menjatuhkan sepda kebo Mas Yono. Dan langsung melesat secepat kilat menolong perempuan malang itu.

“Mbak.. Mbak… bangun…!!”

Tak kuingat lagi ternyata perempuan nan malang itu bukan muhrim. Beberapa waktu orang-orang berkerumun ikut membantu. Beberapa berusaha mengejar pengemudi sepeda motor pengecut sambil mengacung-acungkan golok dan kayu. Tapi tampak percuma, mereka hanya bermodalkan kaki saja.

“Ayo dibawa ke puskesmas.. cepat cepat..!!”, aku mengomando masyarakat. Beberapa ibu-ibu penggarap sawah ikut membantu. Merekalah yang kusurh-suruh mengangkat korban tabrak lari itu. Untung saja puskesmas tak jauh dari sana. Aku segera mengambil sepeda dan langsung mengkondisikan puskesmas bahwa ada korban tabrak lari di seberang. Tak lama sebuah becak datang dengan menggotong perempuan muda itu. Tampak darah meleleh merembesi jilbabnya yang berwarna cerah.

“Tolong diperiksa, dok.. nampaknya tak sadar diri..”, ucapku pada dokter wanita separuh baya itu. Nampak juga beberapa siswa kedokteran ikut membantu penyelamatan perempuan itu.

Dan aku terduduk di kursi tunggu. Hampir aku lupa kalau aku masih ada pekerjaan di pesantren. Ah, sudahlah, terlambat sedikit tak apa. Toh ini juga bagian dari tugas para santri untuk menjadi abdi masyarakat.

“Mas yang tadi membawa pasien itu kemari?”, Tanya suster tiba-tiba menegurku.

“Iya, suster..”

“Keluarganya atau bukan? Maaf..”

“Oh, bukan suster. Saya hanya pengantar saja. Tadi kebetulan kecelakaan terjadi di depan saya saat dalam perjalanan menuju pesantren. Ini KTP saya..”

“Oya, baik. Saya catat dulu. Nanti sebagai data kalau ada pihak keluarga atau yang berwajib menanyakan..”

“Oya, baik, sus..”

“Saya sudah boleh balik, sus?”

“Oya, silakan. Alhamdulillah korban membawa identitas dan sudah bisa dilacak keluarga terdekatnya..”

“Syukurlah.. kalau begitu saya pamit pulang dulu, sus. Sudah ditunggu di tempat lain.. Assalamualaikum..”

“Terima kasih banyak, dik ya..Waalaikumsalam..”

Aku bergegas pulang ke pesantren. Sudah ada acara lain menantiku. Amazing sekali hari ini. Sudah terbayang wajah Indro yang mungkin menungguku bak bunga merindukan kumbang. Sudah terbayang lezatnya makan pagi menjelang siang Mas Yono yang super lezat.

***

[8]

Malam ini, bulan indah bersinar. Kata orang tionghoa penjaga toko obat kuat dari China di pasar, banyak ritual yang dilakukan oleh mereka bersandarkan bulan. Hampir semua. Mirip sekali dengan kalender yang digunakan oleh orang Islam dalam menentukan hari besarnya. Di tradisi masyarakat tionghoa ada perayaan Cap Go Me, sebagai rasa syukur dalam menyambut tahun baru, ada juga perayaan kue bulan, di bulan 8. Menurut cerita kokoh penjaga toko obat kuat itu, perayaan kue bulan benar-benar mengekspoitir makna bulan bagi masyarakat tionghoa. Menurut mereka, kue bulan ini dihubungkan dengan tanda syukur bahwa bulan senantiasa menerangi jagad raya. Meriah sekali ritual doa masyarakat tionghoa.

Di pesantren kami, tepatnya di lantai tiga sekitar jemuran yang dulu pernah aku ceritakan padamu, kawan, bisa kita lihat bulan dan bintang gemintang dengan sangat jelas. Sering sekali aku beranjak pergi keatas untuk sekedar menikmati secangkir kopi dan pisang rebus setelah pelajaran malam usai dari masjid. Banyak juga makna langit ini bagiku. Pernahkah kau perhatikan kawan, di langit sana ada bintang yang berada paling bersinar dan paling dekat dengan bulan. Andai saja pesantren ini dilengkapi dengan fasilitas teropong bintang, mungkin aku mau jadi sukarelawan untuk menjaga teropong bintang itu siang dan malam. Tapi mungkin sainganku agak berat kali ini: Indro.

Sejak kasmaran, ia menjadi latah mengikuti kebiasaanku bertafakur di lantai tiga. Bedanya ia hanya kadang seperti patung Jendral Soedirman di Jakarta yang pernah aku lihat di tivi yang seakan menerawang dalam dan dilanda kesedihan. Seperti itulah wajah Indro. Ia hanya bertekur seperti burung perkutut yang tak kunjung melahirkan telurnya. Ah biarlah saja. Dan hari ini memang ternyata Indro agak berbeda.

Ketika aku memulai kebiasaanku untuk memandang langit di malam hari, kulihat dari sudut tempat biasa aku duduk, Indro sudah terpekur disana. Matanya nampak agak sembab, tak begitu jelas, seperti habis menangis dengan tangisan cina. Di sampingnya ada Mushaf. Tergelitik rasa hatiku untuk langsung mendekat padanya.

“Assalamualaikum, Ndro..”

“Waalaikumsalam.. Monggo, Lungguh ndhek kene, cak..” Indro mempersilakan aku duduk di sebelahnya.

Kuperhatikan wajahnya. Benar, matanya sembab. Pandangan matanya kosong. Makin jelas di kelopak matanya yang menghitam bahwa ia memang habis menangis cina. Tahukah engkau kawan, mengapa istilahnya menjadi tangisan cina? Konon kabarnya, jika salah seorang kerabat saudara kita etnis tionghoa ada yang meninggal dunia, semakin kita menangis dengan keras, makin bahagia hidup mereka yang pergi meninggalkannya untuk menjalani kehidupan setelah kematian. Itulah yang dikatakan di kampung asalku, jika ada orang yang menangis dengan histeris dan ekspresif, dikatakan itu sebagai tangisan cina.

“Kamu kenapa lagi, ndro..” tanyaku

“Aku habis muhasabah, cak..” jawab Indro tanpa memandang ke arahku.

Indro melanjutkan bicaranya, kali ini berubah dari kebiasaan barunya yang ber-melayu ria karena terlalu sering mendengar radio jangkrik tengah malam yang memutar lagu Iis Dahlia atau Rama Aiphama.

“Setelah aku pikir-pikir.. Dengan introspeksi diri yang mendalam, selama ini sepertinya aku terlalu memperturutkan diri, ya. Mengikuti hawa nafsu, menjebak diri dalam cinta yang tak pasti..”

Ia berhenti. Menarik nafas dalam, lalu melanjutkan kembali sisi lain dari kedewasaannya.

“Aku barusan ditimbali sama ustad Naim sebelum naik kesini tadi. Ada mungkin 1,5 jam Ustadz Naim banyak cerita mengenai perjalanan hidupnya.. Sampai aku ndak ikut materi pak kyai. Ustadz Naim yang khusus manggil aku. Aku sampai mbrebes mili, cak, dituturi sama beliau..”

“Beliau cerita. Dulunya ustadz Naim itu waktu masih kecil dipungut oleh Pak Kyai untuk jadi santri di pesantren ini. Masalahnya, kedua orangtua kandung dari ustadz ini broken home. Karena bapaknya di PHK, akhirnya ibunya ustadz Naim sampai bekerja di klub malam. Bapaknya ndhak terima istrinya kerja di dunia hitam gitu. Sampai bertengkar hebat, akhirnya mereka cerai. Aku miris dengar cerita ustadz. Ustadz dan adik-adiknya harus bertahan dalam kondisi itu. Sampai akhirnya, kedua orangtua ustadz berpisah. Ibunya pacaran dengan laki-laki lain yang ketemu di klub malam itu, suaminya pengangguran hingga kini entah kemana. Kata ustadz, terakhir ada yang bilang bapaknya masuk rumah sakit jiwa, tapi setelah dicek di tempat yang dimaksud tidak ada. Entah, sampai sekarang tidak tahu dimana..”

Aku terenyuh mendengar cerita itu.

“trus sekarang kok bisa ustadz nyantri disini?”

“Nah, ustadz melanjutkan, dalam kondisi yang serba sulit seperti itu, ibunya tak memperhatikan lagi keadaan anak-anaknya, bapaknya entah dimana, Ustadz naim terpaksa jadi gelandangan bersama 2 adiknya. Masih kecil-kecil semua kata ustadz. Tapi sudah bisa jalan dan bicara. Suatu ketika, ada razia gelandangan di kota. Ustadz dan kedua adiknya tercerai berai di kejar satpol PP. Dalam pengejaran itu, ustadz sembunyi di masjid kota. Nangis sejadi-jadinya ustadz disana. Tak tahan ia dengan kondisi itu. Dalam tangisnya, ia bermunajat agar Allah berkenan mengentaskan ustadz dan adik-adiknya dalam kondisi derita ini.

Tak sengaja ustad tertidur di masjid hingga subuh. Nah, pas adzan subuh tiba, ustadz dibangunkan marbot masjid itu. Ustad cerita panjang lebar tentang kisahnya yang akhirnya membuat sang marbot tak kuasa menahan tangis.

Dari marbot itulah ustadz naim dibawa ke pesantren ini, yang dekat dengan rumahnya. Sekarang marbot itu sudah tiada. Tahu siapa marbot itu?”

Sesaat sebelum menjawab pertanyaan Indro, aku menyeka air mata yang sedikit berlinang menganak sungai di pipiku.

“Ndak tau, ndro.. Siapa?”

“Marbot itu anak Mbok Parmi yang jual cabe di pasar. Namanya Mas Madi. Sekitar setahun yang lalu Mas Madi kecelakaan di dekat masjid raya tempat ia mengabdikan diri. Kejadiannya sore menjelang maghrib di bulan Ramadhan, waktu Mas Madi hendak mengantar takjil ke masjid setelah mengambil dari salah satu jamaah. Seketika Mas Madi menghembuskan nafas terakhir, dalam keadaan shaum. Ia meninggalkan 1 istri dan 2 anak yang sekarang Alhamdulillah sudah tamat SMA dan akan melanjutkan kuliah.”

“Sampai hari ini, ustadz Naim selalu mendoakan semua orang yang telah memberikan jalan kehidupan yang penuh suka duka, orangtuanya yang dengan segala kekurangannya tetaplah ia orangtua yang berperan melahirkan beliau ke dunia, Mas Madi, Pak Kyai, dan semuanya.”

“Ustad Naim juga cerita, hingga sekarang, beliau masih berusaha mencari adik-adiknya yang, entah, seberuntung dirinya-kah sampai ia diberi kesempatan oleh Allah untuk mengabdi di pesantren. Beberapa tahun yang lalu, sebelum kita jadi anggota pesantren ini, ustad Naim sudah pernah mengublek-ublek seluruh kantong-kantong gelandangan di Surabaya, tapi hasilnya nihil. Ustadz juga sudah mencari dari data-data dinas sosial mengenai adik-adiknya, tapi juga nihil.”

“Dari semua cerita itu, ustadz Naim menasihati aku satu poin penting tentang pernikahan. Pernikahan itu kata beliau adalah sesuatu yang sakral dan tak boleh dipermainkan. Hadits Nabi bahwa pernikahan harus dilandaskan pada agama, itu merupakan syarat wajib mutlak yang harus ditaati. Ustadz mencontohkan kedua orangtuanya sendiri, bagaimana kondisi perekonomian yang sedikit berguncang saja, jika tidak ada kesiapan agama yang kuat dan iman yang mendalam, mudah sekali terombang-ambingkan. Bahkan harus pecah.”

“Ustadz mengatakan, nikah itu tidak seperti kita membeli kambing di pasar. Nikah itu membeli masa depan. Maka Allah wajib hadir disana sebagai saksi atas rencana-rencana ibadah kita kepada-Nya. Nikah itu tidak rumit, tapi tidak boleh digampangkan. Parameter kesiapan kita yang paling bisa dijadikan sebagai sandaran utama bukanlah finansial, bukanlah kemapanan, tapi kesiapan iman. Titik. Mampukah kita membawa bahtera pertautan dua iman menuju kepada ridha Allah? Sudah siapkah ruhani kita? Dan itu hanya kita yang bisa merasakan. Bukan berarti harus takut, tapi harus terus dipersiapkan. Jika momentum kesiapan dan waktu bertemu, maka jadilah kita sebagai pribadi yang telah siap menikah. Perintah Allah untuk menyegerakan menikah itu secara implisit mengatakan bahwa kita harus menyegerakan pembelajaran iman. Belajar agama tak boleh ditunda-tunda. Begitu kata ustadz, cak..”

Panjang lebar Indro bercerita tentang ustadz yang selama ini memang jarang diceritakan olehnya. Ustadz terlalu kalem untuk bisa berbagi tawa dalam keceriaan pesantren bersama santrinya, sehingga mungkin tampak rikuh untuk harus bercerita tentang kisah hidupnya yang pilu.

“Akhirnya aku tersadar, Ndro. Belum ada apa-apanya penderitaan hatiku hanya karena masalah sepele ini dibandingkan dengan kisah ustadz Naim. Masih sangat jauuhh kadar ketaqwaanku dibanding ustadz Naim. Aku tergugu dihadapan ustad, tak mampu aku membendung air mataku. Aku menangis, meminta doa pada ustadz, agar mau mendoakan akan kealpaanku selama ini..”

Diam-diam aku pun turut tersadar. Banyak sekali hikmah di pesantren ini yang ternyata berserakan di tiap pribadi-pribadinya. Mungkin lebih banyak pembelajaran kehidupan ketimbang apa yang kita dapatkan di kelas.

Aku hanya bisa terdiam membisu, memeluk sahabatku yang semakin mendewasa ini. Dalam kelam malam yang dingin, aku memeluknya, menepuk pundaknya, dan menyapa batinnya yang kini semakin lama semakin terasa dekat dengan pencipta-Nya. []

to be continued..

39 thoughts on “#4 Bidadari.. [1]

  1. good job, amri… eh army! 🙂

    i enjoyed it. laughed on it. no more roaming, hehehe
    ngeflow naturally. intisari hikmah dimasukkan dengan apik.

    emang tema yg komersil adlh cinta-pernikahan-so on ya my, hehehe
    diantos kelanjutannya…

    oia, mesen agar alurnya ga kyk novel2 cinta kebanyakan 😉

    1. Hahaha… banyak yang baca soalnya, makanya temanya jadi cinta-pernikahan.. Santaii.. makasih mbak ya.. 😀

      Emang novel cinta kebanyakan kayak gimana? 😕

  2. Mantap kang saya begitu liat isiinya bagus. Jalan ceritanya ga bisa ditebak.
    Keliatannya banyak cerita yang didasarkan pengalaman contoh susasana pesantren yang keliatannya amat detail.
    Jadikan buku kang.

  3. Subhanallah, full humor, full hikmah.. kisahnya mengalir spt air. Hopefully kisah2 si ‘Amri’ bs dinovel kan suatu hr nanti, skdr usul, skalian di twrkn k kang Dedi Mizwar, siapa tw bs jd sinetron Ramadhan tahun depan =D, shg dgn msuk tv, pesan2 kbaikannya bs sampai ke lbh banyak orang

  4. sy suka openingnya..deskripsinya bgs

    sy suka tengahnya..kocak abiiss

    sy suka endingnya..maniss

    gud job abang ^^

      1. iya..mksdnya suka smua,,tp lbh sy rinci

        mirip gaya nulisnya afifah afra,,penekanan didetil.nice..

        bbrp detil agak panjang,,tp gpp.ketutup sm bgsnya ^^

  5. hahahahaha,, baru d awal udah ngakak sendiri gara2 obrolan yg ini:

    Oohh.. Ngliatin itu tho.. Itu sering disini, den. Kalau datang suka pagi-pagi.. Giat orangnya..”

    “Iya, siapa mbok namanya?”

    “Pak Mahmud, pedagang beras baru dari desa sebelah.” (gubraks!)

    dan ini:

    “Ealah.. Itu sopo yo.. Akhir-akhir ini memang sering belanja disini, kok. Sepertinya anaknya Pak Tarman, lurah sini, yang baru pulang dari kota. Mungkin liburan. Soalnya kalau menurut kabar, anak Pak Tarman memang kuliah di kota. Sini tak panggilkan.. Nak.. Nak.. sini sebentar..!!”

    “He, mbok, mbok, haduh, jangan dipanggil…!! Waduh…”

    Santri bertubuh gempal itu berlari kabur.

    “Lhoo, Den Indroo, cabenya belum dibayar..!!!” (gubraks lagi :D)

    sip,, panjang tenan,, mantap (lg nerusin baca ini)

  6. amrii, eh armyy.. kepanjangan nih.. heheu.. sy menikmati guyon2 ringan yg disispin dlm cerita, tapi karena kepanjangan di tengah2 jadi bosen 😀

    oia, hati2 terjebak dalam stereotipe-sasi. salah-salah, bikin bosen dan gada twist di plotnya. akhirnya alur jd gampang ketebak.

    terus satu lagi, kayanya sering banget ceritanya si tokohnya mimpi ya? hehe

    1. nah..!!! ini yang ditunggu dari kemaren-kemaren.. *jenis kritiknya maksudnya.. :p

      Bener.. bener.. mungkin karena saya ngetiknya dalam bentuk halaman buku, jadi ga sadar kalo di blog itu mesti simpel. Kemarin setelah ngepost di blog rasanya kok jadi panjang pisaann… jadi panjang juga karena saya lagi meriset beberapa sudut pandang dalam tulisan. Pengen coba, sanggup mempertahankan ide ga.. gitu.. re: panjang

      Bener.. saya ngerasa agak terbawa suasana kisah percintaan-perkawinan yang sekarang sedang menjadi the most favourite topic, padahal kisah keseluruhan di bakal novel ini nanti tidak dieksploitir tema yang serupa. Awalnya ini cuma bumbu aja.. good, ternyata ada yang punya perasaan yang sama.. re: stereotipe-isasi

      mungkin karena ngetiknya sambil mimpi di jam 2 pagi ya? wekekeke…. re: mimpi

      Nanti comment lagi ya, sis.. 🙂 thanks eniwei..

  7. Wooo, tulisannya panjaaaaaang sekali. Tapi secara keseluruhan tetap bagus 😀

    Yang paling saya sukai dari tulisan ini adalah bahasanya yang sederhana & mudah dipahami. Ada yang bilang, kalo orang yang paling cerdas adalah yang bisa menyampaikan sesuatu dengan bahasa yang mudah dipahami. Hehehe…

    Oh ya, masih ada salah ketik sedikit di ‘dank au tiada’. Tadi waktu baca itu sempat mikir dengan lugunya, ‘itu bahasa Jerman?’ hahaha…. Oke, selamat menulis lagi. Ditunggu tulisan berikutnya 😀

    1. iya nih.. panjang pisan.. hehe..

      Alhamdulillah, masih bisa bersederhana ria dalam keruwetan..

      Hahaha…!! Doain aja biar bisa berbahasa jerman beneran novelnya.. ^^

      Thanks, eniwei… 🙂

  8. Bagus tenan my, kocak, banyak hikmahnya, dan yang lebih penting bahasanya lebih dimengerti, hoho, ditunggu kelanjutannya 😀

    Question: Indro itu terinspirasi dari Mahendra ya? haha
    Suggest: kalo bisa ada klimaksnya yang bener2 spektakuler problemnya 🙂

    1. wekekeke…

      ada deehh…. re: indro

      Iya, nih. masih memilih milih, mana kah problem yang paling bisa ditarik manfaatnya buat semua orang.. 😀

  9. ha22..
    kocak, banyak makna dari setiap kejadian, walaupun panjang. pi menarik kalau sudah bacana..
    bikin penasaran,.
    di tunggu kelanjutanya,.
    🙂

  10. Ck2x, inilah kalo sang demonstran + politisi jadi sastrawan, hampir lengkap..
    gaya spain ditambah efektifitas germany..wlwpn lbh bnyk nge’goreng’-nya,,tp tetep aja nusuknya tajam n langsung’..
    diksi melo melayu yg pas dipaksa dlm latah surabaya
    trlihat skali diskusi internal (pribadi) sang penulis, the new one Vs the old one, dari akademisi, jd preman, trus balik ke sufi,,
    Endingnya memang msh bisa trlihat, tp gaya bhs yg dipake cukup membuktikn klw ente pernah jadi bintang majalah Annidaa..he2x,
    intiny bagus sangat-lah!
    nb: Ane ngritiknya pake pujian aja ya, kan nte cerdas melihat makna dibalik kata

  11. vani says:
    this is cool, tapi ditengah2 rada monoton n ngebosenin, saran aje mungkin jangan terlalu panjang deskripsinya bang, yg ini agak kebanyakan curhatnya, mengeksplorasi kata2 utk deskripsi boleh aja tapi jgn panjang2 tenan to…

    trus di kalimat awal2 kok kurang kentel bahasa jawanya, gapapa bang biar pembaca bener2 menghayati, pake bahasa jawa aje…yg penting ada glossarynya…
    sejauh ini “antara amri n ariel” is still my fave krn ceritanya bener2 padat, kocak, dan betul2 nonjok alias mengesankan, hehe…….

    oya trus di paragraf ketiga terakhir kalimat “Akhirnya aku tersadar, Ndro” harusnya “Akhirnya aku tersadar, mri” kan bang…..:)
    ditunggu the next chapter yah… ani says:
    this is cool, tapi ditengah2 rada monoton n ngebosenin, saran aje mungkin jangan terlalu panjang deskripsinya bang, yg ini agak kebanyakan curhatnya, mengeksplorasi kata2 utk deskripsi boleh aja tapi jgn panjang2 tenan to…

    trus di kalimat awal2 kok kurang kentel bahasa jawanya, gapapa bang biar pembaca bener2 menghayati, pake bahasa jawa aje…yg penting ada glossarynya…
    sejauh ini “antara amri n ariel” is still my fave krn ceritanya bener2 padat, kocak, dan betul2 nonjok alias mengesankan, hehe…….

    oya trus di paragraf ketiga terakhir kalimat “Akhirnya aku tersadar, Ndro” harusnya “Akhirnya aku tersadar, mri” kan bang…..:)
    ditunggu the next chapter yah…

  12. assalamualaikum amri, eh army hehehe..

    fiuuuh akhirnya selesai juga baca ini. oke, kesan pertama: panjang dan bertele-tele untuk sebuah cerita pendek. tapi akhirnya gw sadar klo ini baru bagian pertama dari sebuah cerita panjang (iya kan? novel mungkin?). beberapa comment di atas bilang klo tulisan ini kepanjangan, tapi menurut gw nggak kok. justru pas klo untuk ukuran novel.

    mencoba memberi masukan:
    1. baca tulisan ini, gw merasakan ambience yang sama dengan “para priyayi”-nya umar kayam. deskripsi kota kecil di pelosok jawa yang diceritakan dengan sangat mendetil, budaya jawa yang terasa sangat kental, sisipan kata-kata berbahasa jawa di beberapa bagian..
    2. overall, gw menikmati plotnya, gw menikmati sisipan jokes di beberapa bagian, gw menikmati sisipan pesan yang nggak terkesan menggurui, gw menikmati kebetulan2 yang nggak maksa. good job! 🙂 contohnya, waktu amri baca doa perjalanan, terus kebetulan banget putri kecelakaan di depan matanya, itu smart banget menurut gw. the best part of this story, i think.
    3. sayangnya, ada beberapa hal teknis yang agak mengganggu, misal: harusnya “di sini”, bukan “disini”. sebagian kata dari bahasa jawa juga nggak ditulis miring, padahal sebagian lagi udah dicetak miring, jadi terkesan inkonsisten.
    4. latar belakang bang maun dan uztad main buat apa ya diceritain selengkap itu? kayaknya tanpa mereka berdua pun, plot tetap jalan. kecuali klo di bagian selanjutnya, kedua tokoh itu mau dieksplor lebih dalam.
    5. err.. ini endingnya amri sama putri bukan? hehehe.. nah, PR lu adalah bikin lanjutan ceritanya nggak ketebak. tapi jangan terjebak jadi bertele-tele, sentimentil, dan cengeng kaya tulisannya habiburahman el shirazy. ini soal selera sih, tapi gw nggak suka tulisannya.

    okeee keep on writing! maaf ya klo gw bawel 🙂

  13. mantep my,,,tp ono sing ngganjel sitik,,,

    1st…
    ga ada paribasa Tata tentrem karto raharjo,jer basuki mawa bea…(iku joko sembung ngrokok kretek,,ga nyambung rekk…:D),
    yang ada gemah ripah loh jinawi,ayem ayom tata titi tentrem karto raharjo =>artinya keadaan suatu keadaan masyarakat yang adil,makmur,sejahtera,semua ada,ter manage dengan baik..pokok’e bahagia lah…

    lha klo jer basuki mawa bea itu untuk mencapai kemuliaan/kesuksesan itu perlu biaya/ongkos …ga gratis…bisa berupa uang,pengorbanan,atau usaha yang lebih dari yang laen…

    2nd…
    waktu indro minta maaf ke mbok parni,,ucapan nyuwun pangapuro…iku kan ucapan minta maaf ke Tuhan atau Raja ,,,”nyuwun pangapurone gusti/gusti pengeran”…
    klo biasa/sesama..
    suroboyoan : sepurane sing akeh mbok
    alusan : ngapunten ingkang katah mbok,,,

    tp,lmyan mantep tulisane my,,,ngalir…cuma awakmu kurang suwi cangkrukke ambe wong cilike,,,kurang jeru maneh,,aku ono tulisane arek unair “makhluk Tuhan yang paling nggateli”,tokoh utamane praboyo..iku versi novele si ikin….engko tak kirim
    oyo,,indro ambe putri….secara jeneng aku vote iku,,,hwahahaha

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.