#2 Amri dan Ariel

Tak. Tik. Tak. Tik.

Jarum jam barak terasa sangat jelas di telingaku. Ya, entah kenapa, kala istirahat malam ini, mataku tak bisa terpejam.

Sebenarnya, hari ini aku sudah sangat lelah. Mulai pagi tadi yang kegiatan rutin berolahraga setelah kajian ba’da Subuh, lalu dilanjutkan dengan materi kuliyyah demi kuliyyah di kelas, dan belum tahfidz Qur’an di sore hari yang berakhir dengan sedikit materi tausiyah sebelum tidur. Belum termasuk kegiatan cuci baju dan membersihkan kandang sapi punya pak kyai yang ndak kira-kira besarnya.

Tapi sedikit kejadian di TV tadi sore di salah satu infotainment yang diputar di dapur pesantren terasa sedikit menghentakku.

“Mas Yono, jangan digeser sebentar channelnya..”

“Kamu itu, kok bawa-bawa sapu kerik ke dapur, bau tai sapi lagi.. sana, nanti didukani pak kyai lho..”

Sediluk, mas, sebentar aja kok. Lho itu Ariel tha mas? Kenapa? Mesum tha?”

“Iyo, ariel. katanya ceritanya sudah free sex dengan 32 artis lho. Ndak kurang-kurang ya bejatnya artis sekarang. Kemarin Andji, sekarang Ariel.”

“Nggih mas, iku juga lak yang ketok thok*.. Yang ndak keliatan? Lebih banyak lagi kayaknya..”

“Yoweis sana.. Cepet ndhang dirampungne bersih-bersih kandhangnya. Selak maghrib nanti..”

“Nggih mas Yono.. Jangan ketularan Ariel lho.. hehehe..”

Aku ngeloyor pergi, menghindar dari sumpah serapah ndhalemnya pak kyai, Mas Yono. Mas Yono ini sudah bertahun-tahun jadi abdi pesantren. Sudah jadi seperti anaknya pak Kyai saja. Kira-kira selisih usianya dengan saya sekitar 10 tahun, sudah punya anak yang ikut madrasah di pesantren ini juga. Hebat juga Mas Yono ini. Istrinya masih kerabat dengan pak kyai. Mungkin karena dulunya Mas Yono ini diangkat anak sama pak kyai, karena yatim piatu dari panti asuhan di Tulungagung.

Mataku masih terpicing. Bolak-balik ndak jelas. Lalu aku terdiam beberapa saat. Mataku terfokus pada temaram lampu lima watt yang sengaja dinyalakan di dalam barak.

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumsalam… Sinten?”

Terlihat sosok dengan perawakan tegap, dengan tinggi kira-kira 170-an cm, bermuka tirus seperti korban narkoba yang baru dua bulan. Jaketnya kulit sepertinya, celananya jeans semi baggy warna biru dongker, dan..

Masya Allah. Ariel! Aku masih belum percaya..

“Masya Allah.. Mas Ariel?? Monggo-monggo mas pinarak..”

Aku beringsut, sambil membangunkan teman-temanku di barak. Tengah malam!

“Hey, dul, tangi-tangi. Ono artis Jakarta mrene.. Tangi dul..”

“Sopo?”

“Areil peterpan!”

“Ah, kowe nek mbujuk ojo nemen-nemen tho. Ngerti aku, wis arep tahajjud tho? Sek ta, sik ngantuk. Ngenteni ustad naim wae sing nangeni.. gayamu tok..

“Heee, bocah ra genep. Tenanan iki. Mas Ariel, monggo mas.. Duduk dulu disini. Wah kok tiba-tiba dateng ke barak ini berarti sudah sowan dengan pak kyai ya?”

“Alhamdulillah.. Sudah. Tadi sama pak kyai langsung disuruh masuk saja ke barak.”

“Lho, pak kyai ndak tau tho kalo yang datang mas ariel?”

“Wah kayaknya, ngga mas. Soalnya tadi katanya kalau mau mondok, datengnya jangan malem-malem. Sempat dikasihtau tadu, tapi karena saya maksa, ya akhirnya disuruh tidur dulu di barak sama pak kyai, baru besok menghadap lagi..”

Wah, pak kyai ndak gaul. Mimpi apa pesantren kecil kayak gini kok punya santri ariel. Kalo infotainment tahu bisa gawat. Masuk tipi la’an.

“Oya mas ariel, perkenalkan nama saya Amri. Ndak beda-beda jauh kok mas, Amri sama Ariel.. hehehe..”, sambil nyengir kuda.

“Oya, ariel..”

Kami berjabat tangan erat.

Malam ini ternyata luar biasa. Baru sore tadi saya nonton ariel, kok malemnya langsung datang ke pesantren ini ada apa ya.. Gusti Allah memang Maha Berkehendak.

“Mas Amri..”

Ariel memulai pembicaraan sambil menyusun tas yang dibawa ke dipan yang masih kosong. Kebetulan dipan itu kok ya diatas dipanku. Mungkin karena sama-sama orang baru ya dipesantren ini. Jadi ariel diatas, saya di bawah.

“Kenapa mas.. ada yang bisa saya bantu..”

Pikiranku masih menerawang ke kejadian tadi sore. Ariel bercinta dengan 32 artis. Kayak Soeharto aja. Bedanya soeharto memimpin 32 tahun, ini ariel memimpin 32 wanita. hehe..

“Saya ini sebenernya ke pesantren ini diem-diem mas.. Ngga ada yang tau.. Rasanya kok saya ini malu banget mas”

“Malu kenapa mas ariel. Wong mas ariel ndak telanjang di depan saya aja lho. hehehe…”

“Serius mas Amri.. Saya ini merasa bertumpuk-tumpuk dosa dan nista. Kejadian ini membuat saya rasanya ingin bunuh diri saja. Saya renung-renungkan, kok ya bisa-bisanya saya kayak gitu ya.. Seperti kemasukan setan saja.. Duh Gusti..”

Aku tatap lekat dari samping wajah Ariel. Matanya sayu. Beda dengan seperti yang saya liat di tipi-tipi. ย Hilang hingar-bingar dan sikap don juan yang selama ini selalu muncul dalam diri Ariel, menjadi primadona televisi. Kasihan, pikirku. Dahsyat memang kalau Allah sudah berkehendak. Seketika juga bumi disempitkan, dibalikkan, yang semula dipuja-puja, kini dinista-nista. Yang semula idola wanita, menjadi teladan hina.

“Mas Ariel, saya turut prihatin dengan kejadian yang menimpa mas Ariel. Tapi mas Ariel ndhak boleh putus asa, lho. Allah itu, Mahaaa Pengampun. Mahaaa Pengenggam Jiwa Manusia. Ndhak peduli senista apa, bahkan pelacur pun, pembunuh pun, ketika dia taubatan nasuha, diterima sama Allah..”

Ariel melirikku. Kualihkan pandangan menuju ke barisan kayu-kayu dipan yang berjajar diatas dipanku. Disana aku tempelkan doa yang paling sering kubaca.\

“Mas Ariel, sini mas. Saya punya doa mas. Ini doa yang di Al Qur’an, yang dulu diberi sama mbah buyut saya yang sudah meninggal. Doa ini dikasih Allah khusus buat mbah saya lho.”

“Wah, mbahnya wali ya berarti?”, tanya Ariel sambil ikut duduk di tepi dipanku. Aku ambil lembaran doa yang aku isolasi di langit-langit dipanku, kuberikan untuk teman baruku ini.

“Bukan mas, saya sebenernya malu lho ngomongnya. Mbah saya nabi. Tapi jangan cerita-cerita.”

“Hah? Nabi?? Serius?”

“Iya, nabi Adam..”

“Oo… Sialan lu..”

Sesaat tawa kami berderai.. Alhamdulillah, wajahnya mulai mencair. Orang banyak masalah itu mesti banyak ketawa ya, biar ga terlalu dirundung duka.

“Ini mas. Bisa baca ndak?”

Wajahnya tersipu menatapku sambil menggeleng..

“Owalah mas.. Yaweis sini saya bacakan. Bismillahirrahmaanirrahiim. Rabbanaa Dholamnaa Anfusanaa, waillam taghfirlanaa, lanakuunanna minal khoosiriin.. Artinya, Ya allah ya rabbi Tuhan kami, sungguh, sungguh kami ini termasuk hamba yang mendzalimi, menganiaya diri kami sendiri, Ya Allah. Dan jika Engkau Ya Allah tiada memberi ampunan bagi kami dan merahmati kami, niscaya kami ini termasuk orang-orang yang merugi..”

Aku tanpa sadar ikut menitikkan air mata. Terharu dengan doa yang luar biasa dari Nabi Adam Alaihissalam ini. Berulang kali kubaca, dan berulang kali pula aku menangis. Kulihat wajah Ariel. Tatapan matanya mendalam. Dalam sekali. Seakan sangat menyesali semua dosa yang telah terjadi dan dia perbuat.

“Saya ndak mau menghakimi mas Ariel, wong Allah saja ndak pernah memaksakan kehendak pada hamba-Nya. Saya jgua ndak tau mas, apa yang telah terjadi. Tapi yang saya tahu, Allah itu Maha luas ampunannya, melebihi dari murkanya. Kita ini bisanya cuma bertaubat kok mas. Itupun sebenernya cuma bisa meminta saja pada Allah dengan penuh harap dan takut karena kecintaan dan iman kita yang mendalam pada Dia. Lha mas Ariel ini datang kesini, siapa yang menggerakkan? Allah kan? Insya Allah, mas. Ayo kita sama-sama bertaubat saja memperbaiki diri disini.. Wah, maaf mas, jadi ceramah..”

“Mas Amri, terima kasih banyak sudah mau berpikir positif terhadap saya. Saya sendiri sudah malu sekali dengan apa yang terjadi pada diri ini. Allah itu memang Maha berkehendak ya atas segala sesuatu. Dikala kalut seperti ini, Alhamdulillah cahaya Allah itu pelan-pelan menyadarkan saya, bahwa diri ini harus bertaubat..”

Perlahan menitik air mata penyesalan itu. Mengalir menganak sungai melewati pipi.

Ya Allah, tak tahu lagi, kepada siapa hamba-Mu ini harus berharap dan memohon ampun. Entah kepada siapa hamba-Mu ini berharap pertolongan. Jika bukan kepada-Mu kepada siapa lagi hamba harus mengadu?

Ya Rabb.. Ampuni kami, rahmati kami, cukupkanlah kebutuhan-kebutuhan kami, angkatlah derajat kami, berkahilah kami rezeki yang halal, tunjukilah kami ke jalan-Mu ya rabb, berilah kami kesehatan untuk dapat senantiasa beribadah kepada-Mu, dan terakhir maafkan kami yang bergelimang dosa ini ya Rabb…

Mataku kembali ikut mendayu-dayu bersama dengan aliran air mata yang mengalir perlahan. Sambil kuusap, kuberikan tisu juga buat sahabatku yang baru ini.

“Terima kasih, mas Amri ya.. Mudah-mudahan kita bisa sama-sama berubah di dalam langgam kehidupan ini.”

“Sama-sama mas. Mari kita syukuri dan sabari perjalanan di atas kereta taubat ini..”

Tak. Tik. Tak. Tik.

“Amri, pak Kyai sudah marah-marah itu..! Ayo bangunn!!”

Seperti ada suara mas Yono.

“Amri.. wah bocah mbeling iki. Cepetan tangi..!”

Byuur!!!

“Masya Allah. Mas Yono, jam piro iki?”

“Sudah telat setengah jam kowe. Ndhang tangi!”

“Mana mas Ariel?”

“Aril sopo?”

“Lho, tadi malem ada Ariel, Ariel kae lho, ariel pterpan..”

“Wah tenan tibake. Isih nglindur awakmu. Woo, keakehen nonton infotainment iki! Ga ono ariel-arielan. Ono’e Masril, iku cah Jombang. Ayo bangun!”

Ya Allaah… ternyata mimpi thok! Tiwas wis berdakwah rek. Tapi yo kok kayak beneran ya.. Duh.. ndhak apa-apa lah. Mudah-mudahan mas Ariel mimpi yang sama dengan aku. Mudah-mudahan mas Ariel dan teman-temannya benar-benar sedang bermuhasabah dan diperjumpakan dengan mimpi yang sama. Mudah-mudahan.. Ya Allah, berilah petunjuk pada hamba-hamba-Mu yang terdampar pada lembah kenistaan ini, tunjukilah hamba-Mu ini jalan menuju kampung taubat, jika tanpa daya dan upaya-Mu, harus kemana lagi kami memohon kekuatan.. Amiin..

Segera kuambil sejadah, sarung, dan kopyah, serta mushaf. Berlari-lari menuju masjid yang sudah mulai ramai dini hari itu.

6 thoughts on “#2 Amri dan Ariel

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.